Sepak Bola telah Mati
Sepak bola adalah
permainan mendunia, siapa yang tidak suka dengan sepak bola ? entah laki-laki
atau perempuan, kaya-miskin, tua-muda, tukang becak atau pejabat. Menurut
Darmanto Simaepa dalam bukunya “Tamasya Bola” sejarah sepakbola di Indonesia
diwarnai dengan paradox dan ambivalensi, gairah terhadap sepakbola nyaris
seperti birahi. Orang-orang rela membeli tiket calo seharga tiga kali lipat
lebih mahal. Pemain sepakbola dipuja melebihi nabi-nabi dalam agama.
Orang-orang bisa mengamuk, merusak pagar, dan membakar stadion ketika harapan
tidak jadi kenyataan.
Kita dapat mengingat
kembali kejadian tahun 2015 ketika pertandingan antara Persebaya Surabaya
dengan Arema Malang yang disebut-sebut “El
Classico Indonesia” memanas dan merembet ke suporter yang akhirnya
menewaskan salah satu suporter Arema. Atau ketika laga antara Persebaya
dan Persela Lamongan 10 Maret 2012 berujung pada sebuah tragedi kematian lima
orang suporter Persebaya.
Sebaliknya,
jutaan rakyat bisa merasa sebagai bangsa karena sepakbola. Anak-anak yang malas
menyanyikan lagu kebangsaan, mendadak hapal dan dengan lantang menyanyikan nya
di depan televisi atau stadion dengan semangat menyala. Ketika Indonesia
berhasil meraih dua medali emas SEA Games jutaan rakyat merasakan rasa
nasionalisme yang membuncah, membakar kembali semangat perjuangan. Entah itu di
lapangan Gelora Bung Karno pun di lapangan desa yang kecil, setiap orang yang
menyaksikan sepakbola sibuk berteriak, bersorak, ribut kala melihat kelompok
jagoannya mencoba meng-gol-kan bola ke gawang lawan.
Ada yang
diambil dari sepakbola Indonesia, yaitu hilangnya suatu visi sosial tertentu
yang membuat orang merasa terhubung sebagai warga negeri. Melebihi segalanya
bahkan pesta demokrasi sekalipun, dalam sejarah kontemporer Indonesia,
sepakbola adalah suatu peristiwa yang menghubungkan kegembiraan dan kesedihan
bisa dirasakan rakyat secara bersama. Semacam itulah yang tidak diberikan
pemimpin republik atau para politisi sekarang ini (Darmanto Simaepa 2015).
Sependapat
dengan Darmanto, menurut saya kegembiraan tak lagi dirasakan anak muda dengan
label “cinta sepakbola”. Tak perlulah repot-repot bisa bermain sepakbola, cukup
mengenakan baju dengan nama klub favoritnya kemudian berdiam diri di depan
layar televisi atau komputer sambil sibuk bermain game sepakbola, hapal cheat dan bisa menang dalam sekali
putaran pertandingan Play Station
saja sudah cukup.
Sepakbola
Indonesia yang dulunya membuat rakyat merasa menjadi satu, dengan segala pro
kontra ketika pertandingan berlangsung telah hilang dilahap jaman yang serba
cangggih. Merindunya seorang gadis yang duduk sendiri di pinggir lapangan desa,
berharap kakak dan adiknya merebutkan bola dengan apik tak lagi ditemui.
Sepakbola
telah mati, telah tenggelam dengan masa yang serba canggih. Kepuasan bermain
sepakbola di lapangan dirasa sama dengan fitur
lengkap yang sudah ada pada game online pun play station. Sepakbola telah kalah pamor dengan feed instagram milik selebgram.
Sepakbola telah hilang di hati masyarakat yang dulu merasa puas setelah melihat
kemenangan klub andalannya. Kompetisi sepakbola telah dibajak oleh pemburu
rente untuk melampiaskan eros paling purba dalam sejarah kemanusiaan: hasrat
berkuasa.
Komentar